Label

Selasa, 11 Februari 2014

Makna Syathahat dan Juga Jawaban Atas Mereka Yang Mengingkarinya


            SUFINEWS.COM Jika ada seseorang bertanya, apa sebenarnya makna asy-syathu? Maka jawabannya adalah, bahwa asy-syath ialah sebuah ungkapan yang dianggap aneh yang digunakan untuk menerangkan sifat wajdyang meluap dengan kekuatannya dan menggelora dengan sangat panas dan menguasai hatinya.


Dalam bahasa Arab, asy-Syathu itu sama dengan al-harakah (gerak). Oleh karenanya, rumah yang digunakan untuk mengumpulkan tepung, rumah itu disebut (al-misythah).

Berdirilah di tepi sungai Furat di bekas kaki kuda
sebelum jalan rumah untuk mengumpulkan tepung
Dimana tepung-tepung digiling dengan batu
dijalan-jalan rumah kijang yang indah
Tatkala seekor kijang tampak di sebuah bendungan
tertutup sinar fajar dan mentari pagi
Sampaikan salam hangatku padanya
tatkala orang-orang berteriak bahagia

Rumah itu disebut al-misythah karena banyaknya kegiatan yang bergerak untuk menggiling tepung. Bahkan karena sangat banyaknya gerak yang ada di dalam rumah tersebut mungkin saja tepung yang ada di dalam akan meluap ke luar. Dengan demikian istilah asy-syathu itu diambil dan kata al-harakah (gerak), sebab hal itu menandakan adanya gerakan rahasia hati kaum yang sedang wajd di saat wajd-nya sangat kuat. Sehingga mereka dalam mengungkapkan wajd-nya dengan ungkapan yang dianggap asing oleh orang yang mendengarnya. Orang yang sekadar mendengar kemudian menghujat dan mengingkarinya akan menjadikan fitnah (celaka), sementara orang yang tidak mengingkari dan mau bertanya kepada orang yang mengerti apa yang menjadi kendalanya, kemudian ia paham bahwa hal itu memang bagiannya, maka ia akan selamat.

Apakah Anda tidak pernah memperhatikan air dalam volume besar yang mengalir di arus sungai yang kecil maka akan meluap keluar? Saat itulah dikatakan “air mengalir di sungai dengan deras”. Demikian juga seorang murid yang sedang wajd di saat wajd-nya sangat kuat dan tidak sanggup memikul cahaya-cahaya hakikat yang sedang menguasai hati nuraninya. Apa yang datang di hatinya kemudian mencuat melalui lisannya dan diterjemahkan dengan ungkapan yang dianggap aneh oleh orang yang mendengarnya, kecuali mereka yang ahli dan memiliki pengetahuan yang sangat mendalam. Dalam istilah kaum Sufi ungkapan yang demikian disebut dengan asy-Syathu.

Sesungguhnya Allah telah membuka hati para wali-Nya dan mengizinkannya untuk mencapai tingkatan-tingakatan yang tinggi. Sementara itu al-Haq sangat dermawan kepada orangorang yang menjadi pilihan-Nya dan mereka yang sanggup mencapai hakikat dengan hanya menghadapkan dan mencurahkan segalanya hanya untuk-Nya. Dia akan bukakan apa yang sebelumnya menjadi hijab (penghalang), dimana hal itu hanya menjadi bagian orang-orang yang terpilih dan orang-orang khusus.

Maka masing-masing dari mereka akan berbicara sesuai dengan hakikat yang ia temukan, membenarkan tentang kondisi spiritualnya dan menjelaskan apa yang datang dalam rahasia hatinya dengan ucapan dan ungkapannya. Sebab mereka tidak melihat suatu kondisi spiritual yang lebih tinggi dan kondisi spiritual mereka, Sehingga mereka mengokohkannya. Dan tatkala mereka memperkokoh kondisi spiritualnya, maka pada saat itu mereka akan terus naik dengan himmah (kemauan keras) mereka ke kondisi spiritual yang lebih tinggi, sehingga pada puncak jalan dan kondisi spiritual, dimana hal itu sudah merupakan tingkatan spiritual yang paling tinggi.

Allah Swt. berfirman: “Dan di atas orang yang berpengatahuan masih ada lagi Yang Maha Mengetahui.” (Q.s. Yusuf: 76).
Sebagaimana juga firman-Nya: “Dan Kami telah mengangkat sebagian dan mereka di atas sebagian yang lain beberapa tingkatan.” (Q.s. az-Zukhruf: 32).
Dalam ayat lain: “Dan perhatikanlah bagaimana Kami muliakan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain.” (Q.s. al-Isra’: 21).

Dan tidak boleh bagi siapa pun mengumbar lidahnya dalam melecehkan wali-wali Allah, kemudian ungkapan-ungkapan yang didengar dari ucapan mereka yang sulit dipahami dikiaskan dengan tingkat pemahamannya sendiri. Sementara mereka dalam waktu-waktunya berbeda-beda, kondisi spiritualnya juga saling memiliki kelebihan daripada yang lain, dan kadang antara yang satu dengan yang lain juga memiliki kesamaan dan serupa. Mereka juga memiliki bentuk dan pandangan yang sudah dikenal. Bagi orang yang sudah jelas memiliki kelebihan dan kemuliaan daripada teman-temannya, karena memiliki kelebihan ilmu dan luasnya pengetahun (ma’rifat), maka ia boleh berbicara tentang alasan-alasan dan kebenaran mereka, kekurangan dan kelebihan mereka. Akan tetapi bagi orang yang sama sekali tidak pernah menempuh jalan yang pernah mereka tempuh, tidak pernah menapaki jejak mereka dan tidak pernah punya tujuan yang sama dengan tujuan mereka maka cara yang paling aman dan selamat adalah tidak menentang dan mengingkari apa yang mereka lakukan, kemudian menyerahkan segala urusan mereka kepada Allah Swt. dan menganggap dirinya sendiri telah berbuat kesalahan dalam apa yang telah ia klaim bahwa mereka adalah orang yang salah. Semoga Allah Swt. memberi taufik kepada kita.

[B]MELURUSKANNYA DENGAN ARGUMENTASI[/B]

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Perlu Anda ketahui, bahwa ilmu itu terlalu banyak dan lebih banyak dari apa yang bisa dikuasai oleh pemahaman akal manusia. Cukup menjadi pelajaran bagi Anda kisah Nabi Musa as. dengan Nabi Khidhir as. Bagaimana yang terjadi pada diri Nabi Musa as., ketika bersama Nabi Khidhir as., sementara Musa memiliki keagungan dan keistimewaan yang diberikan oleh Allah dengan kenabian, wahyu, kerasulan (risalah) dan mendapat gelar Kalimullah (Nabi yang diajak bicara oleh Allah).

Allah Swt. telah menuturkan dalam al-Qur’an yang dituturkan melalui seorang nabi yang lisannya sangat jujur tentang ketidakmampuan Nabi Musa as. untuk memahami ilmu yang diberikan kepada salah seorang hamba-Nya, dimana Allah Swt. berfirman: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami beri rahmat dari sisi Kami.” (Q.s. al-Kahfi: 65).

Sampai pada akhirnya Nabi Musa as. bertanya, “Bolehkan aku mengikutimu?” (Q.s. al-Kahfi: 66). Sementara kita tahu bahwa Nabi Musa memiliki posisi yang sangat kuat di hadapan Allah, mulia dan beliau sangat tidak mungkin mengingkari terhadap Nabi Khidhir. Sedangkan Nabi Khidhir as. sendiri tidak mungkin dan tidak akan selamanya bisa menyamai tingkatan Nabi Musa as. dalam kenabian, kerasulan dan diajak bicara langsung oleh Allah Swt. sehingga beliau mendapat gelar al-Kalim.

Rasulullah Saw. bersabda: “Andaikan kalian tahu apa yang aku ketahui, tentu kalian tidak akan banyak tertawa dan tentu akan banyak menangis. Kalian tidak akan bisa merasakan kenikmatan dengan perernpuan, dan tidak akan betah tidur di atas tempat tidur kalian, sehingga kalian akan keluar ke gurun pasir untuk berlindung kepada Allah. Demi Allah, sungguh aku lebih suka menjadi batang pohon yang ditebang.” (Hadis ini diriwayatkan Israel dan Ibrahim bin Muhajir dan Mujahid dan Mauruq dan Abu Dzar dari Rasulullah Saw).

[I]Dari Hadis ini bisa diambil kesimpulan, bahwa firman Allah Swt.: “Wahai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.” (Q.s. al-Ma’idah: 67).[/I]

Adalah tidak mengatakan, “Sampaikan apa yang Aku beritahukan padamu.”

Sedangkan sabda Rasulullah, “Andaikan kalian tahu apa yang aku tahu,” menunjukkan, bahwa andaikan apa yang diketahui oleh Rasululah itu termasuk ilmu yang diperintahkan oleh Allah Swt. untuk menyampaikannya tentu beliau akan menyampaikannya.

Dan andaikan mereka patut untuk mengetahuinya tentu Rasulullah Saw. akan mengajarinya. Sebab Allah Swt. memberi kekhususan pada nabi-Nya dengan tiga ilmu: Pertama, ilmu yang dia terangkan kepada orang-orang khusus dan juga untuk umum, yaitu ilmu yang menyangkut aturan hukum, perintah dan larangan.

Ketika, ilmu yang khusus diberikan kepada sekelompok sahabat, dan tidak diberikan kepada yang lain. Ini sebagaimana yang beliau ajarkan kepada Hudzaifah bin al-Yaman. Sampai suatu ketika Umar bin Khaththab r.a. —meskipun ia memiliki kemuliaan dan kedudukan yang tinggi— pernah bertanya kepada Hudzaifah, “Wahai Hudzaifah, apakah aku ini termasuk dalam daftar orang-orang munafik?”

Sebagaimana juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib yang pernah mengatakan: “Rasulullah mengajariku tujuh puluh Bab tentang ilmu yang tidak seorang pun selain aku yang mengetahuinya.”

Ini bisa diketahui, bila salah seorang sahabat Rasulullah Saw. menghadapi persoalan yang rumit ia akan menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib.

Ketiga, ilmu yang hanya khusus untuk Rasulullah Saw., dan tak ada seorang sahabat pun yang mengetahuinya. Inilah ilmu pengetahuan yang pernah Rasulullah sabdakan, “Andaikan kalian tahu apa yang aku ketahui ...“

Oleh sebab itu kami katakan: Jangan sekali-kali seseorang mengira, bahwa dirinya telah mengantongi semua ilmu pengetahuan sehingga dengan pendapatnya ia berani menyalahkan ungkapan-ungkapan orang-orang yang memiliki kekhususan dan bahkan berani meng-kafirkan dan mengatakannya sebagai orang zindiq. Padahal ia sama sekali tak pernah tahu bagaimana kondisi spiritual mereka, tingkatan spiritual hakikat dan amal yang telah mereka lakukan.

Sementara itu ilmu syariat dibedakan menjadi empat bagian:

Pertama, Ilmu Riwayah (narasi), Ilmu Atsar (Hadis dari para tabi’in) dan Akhbar (Cerita dalam Hadis). Inilah. ilmu yang ditransfer dari orang-orang yang bisa dipercaya yang bersumber dari orang-orang yang bisa dipercaya sebelumnya.

Kedua, Ilmu Dirayah, yang mencakup ilmu fiqih dan hukum. Ilmu ini beredar di kalangan para ulama dan fuqaha’.

Ketiga, Ilmu Kias (analogi), debat dan adu argumentasi terhadap orang-orang yang tidak sependapat. Inilah ilmu debat dan memperkuat argumentasi terhadap para pelaku bid’ah dan orang-orang yang sesat dengan tujuan membela agama.

Keempat, adalah ilmu yang paling tinggi tingkatannya dan ilmu-ilmu sebelumnya dan paling mulia. Ilmu yang keempat mi adalah Ilmu Hakikat, Munazalat (Tahapan-tahapan spiritual), ilmu muamalah dengan Allah dan mujahadah, ikhlas dalam taat dan menghadapkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan sepenuhnya. Menyerah dengan sepenuh jiwa kepada Allah dalam segala waktunya. Bersihnya niat dalam tujuan dan keinginan, membersihkan rahasia hati dan segala penyakit hati, merasa cukup dengan Sang Pencipta langit. Mematikan nafsu dengan cara melawan segala kemauannya, jujur dalam berbagai kondisi dan kedudukan spiritual, memiliki adab dan kesopanan di hadapan Allah, baik dalam rahasia hati maupun yang lahiriah dalam segala langkah, merasa cukup untuk mengambil bekal ketika dalam kondisi sangat membutuhkan, berpaling dan dunia dan meninggalkan apa yang ada di dalamnya demi mencari tingkatan yang tinggi di sisi Allah Swt. dan bisa mencapai kemuliaan-kemuliaan di sisi Allah Swt.

Maka barangsiapa benar-benar mengalami kekeliruan dalam Ilmu Riwayah, maka ia tak boleh menanyakan kekeliruannya kepada orang-orang yang memiliki disiplin dalam Ilmu Dirayah. Demikian sebaliknya, orang yang mengalami kekeliruan dalam Ilmu Dirayah tidak bisa merujuk dan menanyakan kekeliruannya kepada orang yang memiliki disiplin Ilmu Riwayah. Sementara orang yang telah mengalami kesalahan dalam Ilmu Kias dan Debat ia tidak bisa merujuk kepada orang yang memiliki disiplin dalam ilmu Dirayah dan Riwayah. Demikian pula orang yang mengalami kekeliruan tentang ilmu hakikat dan kondisi spiritual maka ia tidak boleh merujuk dan menanyakan kekeliruannya kecuali kepada orang yang benar-benar tahu secara sempurna tentang maknanya.

Dan mungkin saja ilmu-ilmu tersebut bisa ditemukan di kalangan para ahli hakikat, akan tetapi ilmu hakikat tidak akan bisa ditemukan di kalangan mereka dan hanya ada di kalangan para ahli hakikat — kecuali bila dikehendaki oleh Allah. Sebab ilmu hakikat adalah buah dan puncak dari semua ilmu. Dan titik akhir semua ilmu berada dalam ilmu hakikat. Maka ketika seseorang telah sampai pada ilmu ini ia akan masuk ke dalam samudera yang tak bertepi, yaitu ilmu rahasia hati, ilmu ma’rifat, ilmu rahasia-rahasia nurani, ilmu batin, ilmu tasawuf, ilmu kondisi spiritual dan muamalah dengan Allah. Dan istilah apa pun yang Anda inginkan dan ilmu-ilmu tersebut maknanya hanya satu.

Allah Swt. berfirman, “Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis (ditulis), meski pun Kami datangkan lagi tinta sebanyak itu (pula).” (Q.s. al-Kahfi: 109).

Tidakkah Anda tahu, bahwa mereka (para ahli hakikat) tidak mengingkari ilmu-ilmu mereka yang bukan ahli hakikat, tapi justru mereka mengingkari ilmu para ahli hakikat — kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah.

Jika masing-masing kelompok dari mereka menggeluti dalam disiplin ilmunya secara mendalam dan kemudian benar-benar paham dan menguasai maka ia akan menjadi “tuan” bagi para sahabatnya, dimana mereka akan merujuk kepadanya ketika mereka mendapatkan kesulitan.

Jika semua disiplin ilmu dari empat ilmu tersebut berkumpul dalam satu orang maka ia akan menjadi seorang imam yang benar-benar sempurna. Ia adalah seorang quthb dan hujjah serta orang yang mengajak pada jalan yang lurus.

Sebagaimana diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang pernah berkata kepada Kuhail bin Ziyad, “Sungguh demi Allah, bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang yang akan menegakkkan hujjah-hujjah Allah agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dari hujjah-Nya tidak akan terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit, namun sangat agung dan terhormat di sisi Allah.”

Kami telah merujuk pada makna asy-syathahat dan tafisr-tafsirnya. Dan sedikit sekali kami temukan ungkapan-ungkapan syathahat di kalangan orang-orang yang memiliki kesempurnaan. Sebab mereka telah mapan dalam makna-maknanya.Asy-syathahat biasanya terjadi pada para pemula dalam pendakian ruhani, dimana ia dimaksudkan bisa sampai pada puncak kesempurnaan. Maka awal pendakiannya sebagai akhir keinginan (iradah)nya. Maknanya, adalah permulaan dan puncak akhir dari kesempurnaan. — dan hanya Allah Yang Mahatahu.
SUMBER: WWW.SUFINEWS.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar